Jumat, 03 Februari 2017

Pulau Air, Surat Untuk Adinda

Pulau Air, Agustus 2016

rindu kakanda pada adinda itu tak lekang oleh kapang, tak luntur oleh jamur, seperti “rendang cubadak” yang diangek-angekan

Apa yang lebih menyejukkan pagi ini selain embun yang bergelayutan di permukaan daun? Di kelopak bunga yang sedang bermekaran ataupun pada helaiannya yang masih urung merekah. Sampai jauh di seberang sana, Swarnadwipa  yang masih tertutup kabut tipis dan matahari yang masih malu-malu menampakkan diri.

Selamat pagi Adinda..

Adakah pagi yang lebih indah pada satu planet di galaksi lain? Tak tahu kakanda, tak sampai ilmu kakanda ke sana.

Kakanda berharap adinda baik baik saja meskipun perusahaan listrik seringkali mematikan listrik tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Bersyukurlah adinda masih dapat memakai listrik pintar, karna disini kakanda gelap gulita. Jangankan listrik pintar, listrik bodohpun tak ada disini. Jadi tidak ada hal tidak penting yang dimatikan.

Adinda, kakanda baik-baik saja disini. Kakanda selalu mendo’akan adinda semoga selalu sehat wal’afiat tak kurang satu apapun di tiap produksi adenosin tri fosfat (ATP) pada siklus kreb kakanda. Juga di proses glikolisis, glikogenesis, glikoneogenesis dan siklus biokimia lainnya.

Adinda, kalau tak silap, gletser di kutub utara sudah lama mencair. Pernah adinda kesitu? Kakanda juga tidak pernah. Tapi dingin disitu kata Etek Rosna. Ah sudahlah, mungkin Etek Rosna cuma tengok gambar di kalender dan baca di koran. Akibat dari global warming itu adinda. Karna global warming itu pula jadi putih-putih karang-karang di lautan kita. Pulau Air ini khususnya. Istilah kerennya itu “coral bleaching”. Patah-patah lidah kakanda mengejanya. Jadi janganlah adinda suruh kakanda mendinginkan air laut itu. Jangan pula adinda suruh kakanda me-rona-kan karang yang sudah bleaching dengan carmin secukupnya. Tau adinda carmin? Carmin tu sediaan farmasi, warna merah dia. Kalau tak silap, biasa dipakai untuk mewarnai campuran obat yang sedang digiling supaya tahu kita obat tu sudah tercampur merata atau belum.

Adinda, akibat gletser yang mencair itu, bertambah tinggi pula permukaan air laut.  Bisa tenggelam pulau ini dibuatnya nanti. Sekarang saja sudah banyak terkikis pasirnya, hilang dia dan tinggal batu-batu besar saja lagi.

Adinda, sungguh excited sekali kakanda saat sampai di pulau bersih berpasir putih dan tak berpenghuni ini. Bayangkan oleh adinda. Sebelum sampai banyak expektasi yang kakanda tulis di buku harian kakanda. Mengkodak sunrise, sarapan pagi dan teh hangat, senorkeling dan feri daiiph bersama ikan-ikan, memancing dan seteraight dapat ikan gabuh besar, santai seperti di pantai, bermenung-menung dan berkhayal hal yang indah-indah termasuk tentang adinda, sunset, api unggun, bakar ikan, pacu umang-umang, minum air kelapa muda, panen sukun, selphi bersama penyu dan banyak lagi yang lain adinda.

Adinda, disini kakanda banyak menyendiri. Sering kali kakanda bermenung-menung . ada-ada saja hal yang terpikir oleh kakanda.

Pagi hari ingin kakanda memotret sunrise dan pemandangan. Semangat sekali kakanda pagi itu. Tapi saat keliling pulau, tersialir kakanda di batu. Kakanda pikir batu itu tidak licin, ternyata licin dia. Tersialir dan tertilantang lah kakanda. Lecet-lecet badan kakanda. Tangan dan kaki kakanda sakit-sakit pula gara-gara itu. Terkilir jari tangan kiri kakanda, 4 dari 5 jari kaki kanan kakanda lecet. Berdarah dia. Untunglah sesampai di tenda ditolong bersihkan oleh kawan kakanda. Dibersihkannya luka kakanda, dikasihnya povidone iodine, diperbannya lalu dia suruh kakanda istirahat.

Adinda, kakanda kadang suka iri lihat foto kawan-kawan kakanda di instagram tu. Poto mereka bagus-bagus besama ikan-ikan dan karang-karang. Pada suatu pagi kakanda sudah siap dengan alat senorkeling. Mulai lah kakanda berenang. Memang indah pulau ini adinda. Karangnya bagus, banyak soft coral, anemon, dan istimewanya banyak ikan disini. Ikannya bagus-bagus adinda. Warna warni. Tapi sedang asik-asik berenang, nampak ikan hiu oleh kakanda. Takut kakanda jadinya. Takut kalau digigitnya kakanda nanti. Cepat-cepatlah kakanda berenang ke tepi. Nanti kalau kakanda digigit ikan hiu, bertambah lagi luka kakanda. Luka waktu tersialir kemaren saja belum sembuh.

Dinda, kanda lebih suka menghabiskan malam di luar tenda. Mengamati bintang dengan rasi-rasinya, kadang tampak samar galaksi bima sakti. Kadang langit itu gelap, awan hitam yang seram dan mencekam. Merasakan belaian angin lemah lembut dari barat laut, sepoi-sepoi, kadang badai, seperti hendak menerbangkan kakanda jauh ke angkasa. Transit sebentar di dahan pohon sukun, tersangkut pula sebentar di pohon kelapa, lalu dia terbangkan lagi kakanda berpedoman pada garis lurus ke arah tenggara sampai nanti dia “hard landing”kan kakanda di pesisir barat Austeralia. Sebelum landing susah sekali kakanda menghindari benda benda asing yang melayang layang. Kakanda pikir itu drone. Eh, boomerang itu ternyata.

Mendengarkan nyanyiaan ombak malam yang menari-nari teratur lalu pecah di tepi tubir. Kadang ia tinggi sekali, kadang suaranya seperti gemuruh, keras menghempas. Mengikis permukaan pantai yang kian tipis. Kalau sudah begini kanda suka ingat masa-masa saat kakanda belum bisa hapus ingus sendiri. Di kampung kakanda dulu minim sekali hiburan. Ada tv, Cuma satu tv Negara itu saja siaran yang dapat. Itupun acaranya sudah sangat membosankan. Tapi semembosan-bosannya siaran tivi milik Negara saat itu, mereka tidak lebay, tidak tipu-tipu, dan tidak pula membodoh-bodohi.

Dinda, Kala itu layar tancap masih popular. Orang kantor KB yang sering buat acara. Apa lagi misi mereka kalau bukan melarang amak-amak dan etek-etek kami punya banyak anak??!! Kata mereka 2 anak lebih baik. Tapi Pak Sedi (nama samaran) bekerja di kantor KB provinsi, anaknya empat. Beliau juga yang bilang kalau sebagian besar pegawai KB tu anaknya lebih dari dua. Ayahnya Ijon (nama samaran) bekerja di kantor KB kabupaten, anaknya lima. maafkan kanda yang belum sempat mendata jumlah anak masing masing pegawai KB.

Dinda, dalam kesendirian di sunyinya pulau ini, kanda sering sekali menghabiskan malam di luar tenda. Kenapa tidak?! pada malam, ada hari yang telah tertinggal dan menyisakan lelah. Satu malam berarti ada hari esok yang akan merekah bersama cerita dan asa-asa yang telah dirajut. Meskipun makanan kami masih lauk kemaren yang digoreng lagi. Rindu kakanda pada adinda. Seumpama rendang nangka rindu ini. Lama tahannya. Karna kakanda rajin memanaskannya tiap hari. Jadi rindu kakanda pada adinda itu Awet, lama tahannya. Tak lekang oleh kapang, tak luntur oleh jamur. Seperti “rendang cubadak” yang diangek-angekan (red-dipanaskan).


Bersambung..

Kamis, 02 Februari 2017

Pulau Air, Sebut Saja Pulau Angin

frame of sunshine (sunset or sunrise?)
Pulau Air merupakan pulau yang paling kecil dalam kawasan Taman Wisata Perairan Pieh. Luasnya sekitar 4,7 Ha. Pulau ini juga yang paling dekat dengan Pulau Sumatera. Dari titik terdekat Kota Padang dibutuhkan waktu lebih kurang 45 menit menggunakan perahu nelayan (sumber: TWP). Di pulau ini sering kali terjadi angin kencang dan hujan badai, jadi siap-siap saja segera menggulung tikar dan lapak saat sedang asik berjemur bersantai seperti di pantai.
hari yang cerah untuk pulau yang sepi
Ketinggian pulau ini pada GPS tercatat tidak menentu. -3, -7, 0 dan 3 mdpl. Tenggelam dong? Tidak begitu. Titik 0 mdpl Kota Padang ada di Tugu Tungku Tigo Sapilin, Simpang Haru. Jarak titik 0 tersebut terletak lebih dari 1 km dari bibir pantai, sudah agak tinggi. Jadi saat dikira-kira, ketinggian pulau ini lebih kurang 1 sampai 2 meter dari batas pasir.
pagi yang menkjubkan untuk bersantai seperti di pantai
Jika ada hubungan yang tak putus di Pulau Pamutusan, ada tangan yang saling berpegang memegang-megang sampai terjadi perpegang-pegangan lalu dipegang-pegang di Pulau Pagang, sumpah setia serapah di Pulau Pasumpahan dan semua terekspos rapi mencoba terlihat so-sweet meng-instagramable di sosial media, namun Pulau Air tidak se-tenar itu. Tak banyak informasi dan ekspos tentang pulau ini. Ini hanyalah pulau kosong tak berpenghuni, kecuali jika biawak didaftarkan sebagai penduduk. Ada sumber air di tengah pulau. Payau, bahkan nyaris asin. Masih baik digunakan untuk mandi dan cuci-cuci. Tapi kopi asin dan kopi payau tetap saja tidak enak. Dalam bahasa sederhananya air dari sumber air ini tidak layak minum. Kecuali jika anda seorang NaCl-holic.
penghuni pulau yang tidak terdaftar di Kantor Capil
Pulau ini pasirnya putih, bisa dikatakan bersih. Ada beberapa sampah laut yang terbawa ombak. Tak tampak sampah antariksa ataupun sampah masyarakat. Pagi dan sore sering nampak elang kepala putih terbang di atas laut mencari ikan. Pemandangan yang seru apalagi jika anda seorang peminat wildlife fotogfrafi. Namun tidak begitu menarik jika anda seorang penyuka fotografi “modus” yang berorientasi besar pada paha dan dada apalagi yang dicabein.

Landscape disini juga sangat menarik. Pasir putih berpadu langit biru, sunset di Samudera Hindia dan sunrise dari Pulau Sumatera. Sangat memanjakan untuk yang suka memotret pemandangan. Lupakan hal ini jika anda malas berkeliling pulau dan takut kepanasan.
bukan ikan hiu (sumber foto: Satker TWP Pieh)
Alam bawah laut pulau ini masih indah walaupun karangnya sudah banyak yang mengalami pemutihan. Ikannya banyak, karang-karang mulai dari yang keras sampai yang lunak hidup rukun berdaampingan tanpa pengrusakan. Banyak ditemukan anemone, di kawasan tubir yang paling kaya. Sesekali tampak hiu karang atau disebut juga Black Tip. Sebetulnya tidak berbahaya, tapi cukup menakutkan bagi perenang dadakan seperti saya. Buang jauh-jauh keinginan selfie bersama hiu tersebut jika anda seorang wanita yang sedang datang bulan. Karna dia tidak peduli dengan status “wanita selalu benar” saat PMS. Juga tidak peduli berapapun “like” selfie bibir bebek dan “followers” anda di instagram.
saat transplantasi karang (sumber foto: Satker TWP Pieh)
Menurut laporan dari berbagai sumber, disini merupakan tempat untuk penyu bertelur. Beberapa nelayan juga melaporkan hal yang serupa. Namun beberapa kali enumerator penyu melakukan monitoring disini belum ditemukan tanda-tandanya. Bisa jadi “timing”nya yang kurang pas. Atau mungkin memang tidak ada lagi penyu yang naik kesini.
pohon kelapa saja sendiri, lalu apa yang kamu risaukan?!

NB: Tulisan ini ditulis oleh penulis disela-sela penulisan laporan harian kegiatan monitoring penyu dari Satker KKP Pieh. Jika tertulis tulisan-tulisan yang hakikatnya tidak layak tulis, penulis terbuka atar kritik, masukan dan saran baik itu tertulis ataupun tidak tertulis. Atau mungkin masukan berupa tulisan tertulis, namun disampaikan ke penulis tidak melalui tulisan.


Minggu, 13 Maret 2016

Pendakian Gunung Singgalang (Part II) “merdu tilawah dan cahaya-Nya di tepi Telaga”

Telaga Dewi pada suatu pagi

"...lalu bercerita tentang masing-masing kita, tentang cinta yang pernah menyala, tentang kisah yang tak sudah, tentang kasih tak sampai .."

Malam itu saat kelelahan hebat, kami mendirikan 2 tenda yang kelupaan bawa seluruh pancangnya. Kami memasak mie instan untuk menghangatkan, Dilanjutkan dengan membuat unggunan kecil dengan kayu seadanya yang kembali menghangatkan tubuh yang sempat menggil, kami juga menyiapkan minuman penghangat.

Kami paham betul teori kesehatan yang tidak menyarankan untuk makan dan minum dengan sendok dan gelas bergantian. Namun kami lebih percaya bahwa antibodi kami masih sangat tangguh, kami lebih meyakini disitu letak romantisme persahabatan. berebutan mie rebus, yang hanya 1 mangkok, bergantian mengecup segelas teh dan segelas kopi.
***
Di tepi Telaga Dewi, malam itu permukaannya tenang, tak tampak riak, tak juga tampak kabut. Hanya irama sunyi, refleksi bintang dan langit cerah. Lalu bercerita tentang masing-masing kita, tentang cinta yang pernah menyala, tentang kisah yang tak sudah, tentang kasih tak sampai. Kembali terniang tentang Dia, saat terjaga sebelum pejamkan mata. Lalu kami terlelap berselimut imaji dibawah bintang-bintang dan tata surya lain yang bernaung dalam galaksi bima sakti.

“…..Dan tangannya yang halus membelai, Tak ingin ku lepas sampai ku terlelap”
***

Matahari pagi di antara Cantigi
Keheningan subuh itu terpecah saat terdengar tilawah nan merdu dari luar tenda. Sangat merdu, bacaannya fasih, tajwidnya jelas, dan yang pasti iramanya indah meski dalam tema semi maratal. Benar dugaan saya, siapa lagi kalau bukan ami. Saat menyibakkan pintu tenda, tampak telaga yang tenang dengan kabut-kabut tipis di atas permukaannya. Sejuk penuh kedamaian. Rona jingga dan merah fajar masih merekah. Masih jam 6 kurang beberapa menit, saatnya menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Maunya tayamum, :P tapi itu sungguh sebuah ide bodoh -_- . brrrrrr, saat menyentuh telaga, tangan yang sebelumnya sudah kaku dan menggigil ini seperti dipaksa menyentuh gumpalan es yang baru mencair di sekitar karang es. Ekspresi kedinginan saya seperti Uda Jek menggigil ganteng berendam bersama kekasihnya Uni iroih saat menunggu pertolongan di laut Atlantik utara waktu biduk mereka tenggelam. Bedanya tipis, rambut saya agak ikal. :P

Pagi itu sebelum sarapan, kami main ke dermaga, berjalan di dalam hutan lumut, tak lupa trend yang lagi kekinian, yaaaaa, selfie, groufie, juga foto pake kertas. Tenang saja, kertasnya dibawa turun kok.
dermaga kayu yang kian lapuk
Telaga Dewi yang konon kabarnya tidak ada satupun daun gugur di permukaan airnya merupakan tujuan utama bagi pendaki gunung Singgalang. jaraknya ke puncak hanya sekitar 30 menit-an perjalanan. Telaga ini ibarat surganya gunung Singgalang, berhias pohon-pohon Cantigi nan khas dan eksotis serta dikelilingi hutan lumut. Telaga ini seakan menyimpan sejuta misteri yang belum terpecahkan, apalagi saat kabut menutup habis semua permukaan telaga.

Banyak yang menyebut istilah “misty of Telaga Dewi”. Kakak saya yang juga suka mendaki, pernah menceritakan pengalaman misteriusnya di telaga ini. Saat itu ia dan teman-teman camp di tepi telaga. Tengah malam saat keluar dari tenda, ia menemukan air telaga berubah warna menjadi lembayung, saat bersamaan keluar sesosok wanita dari tengah telaga selama beberapa detik lalu menghilang. Kisah yang sama sering terulang dan dikisahkan pula oleh teman-teman yang lain.
 
siapa dan untuk apa ya pohon ini ditebang??
***
Perjalanan turun kami mulai minggu  jam 12.30. sebelumnya sempat beraktifitas di tepian telaga mulai dari selfie, santai, menyendiri, jungkir balik, cari inspirasi, cari batu akik, bahkan sampai “make a wish”. Istirahat, packing, dan terakhir foto keluarga. Setelah melewati hutan lumut kami berhenti sejenak di tugu Galapagos seraya berdo’a untuk nama yang tertulis pada tugu. Lalu perjalanan kami lanjutkan kembali. Tidak butuh waktu lama sampai di shelter 3, saat istirahat dan makan, hujan turun dengan derasnya. Bagaimanapun perjalanan tetap harus dilanjutkan. Setelah memastikan pano dan raincoat terpasang sempurna, kami melanjutkan perjalanan pada trek licin di tengah guyuran hujan deras. Berkali kali kami terpeleset secara bergantian.
yang nyandar udah bobok, udah merem, tapi kok tetap ganteng ya?? takdir?? :P
Tidak butuh waktu lama, trek licin yang kami lalui berubah menjadi aliran air seiring dengan semakin derasnya hujan. Kami seeperti berjalan pada selokan besar. Pano yang kami gunakan tak lagi mampu melindungi badan dari kebasahan. Energi sudah sangat terkuras sesampai di shelter 2. Dengan tertatih kami kadang harus maju mundur cantik dan merunduk ganteng melewati terowongan hutan pimpiang yang seakan tiada habisnya. Sekitar jam 19.30 kami keluar dari hutan pimpiang. Tampak Cumiel sujud syukur di bawah guyuran hujan. lalu kami beristirahat di basecamp. Merasa perjalanan ke Padang tak mungkin dilanjutkan malam itu, kami memutuskan untuk menginap di basecamp dan melanjutkan perjalanan ke koto baru Senen dini hari sebelum sholat subuh.

satu kerinduan akan rumah

Senin, 11 Januari 2016

Pendakian Gunung Singgalang (part I), “Menapaki Rimba Yang Tiada Habisnya”




pagi hari di telaga dewi

Ada telaga di kawasan puncak gunung Singgalang”. Itu diajarkan oleh guru pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial waktu saya masih duduk di bangku (kadang di meja) sekolah dasar. Namun perjalanan ini bukanlah untuk membuktikan kebenaran tentang adanya telaga tersebut. Bukan juga untuk membuktikan keberadaan menara pemancar tepat di puncaknya, apalagi hendak membenarkan tiang-tiangnya yang roboh. Entah apa judul yang tepat untuk perjalanan ini. Disini kami takjub akan indah ciptaan Sang Khalid, Sadar betapa kecil, rendah dan lemahnya kami. Ini juga sebuah perjalanan untuk kami memahami dan mempelajari diri, dimana diantara kami lebih memilih sebuah ambisi pribadi, atau justru memilih mengesampingkan ego diantara rintangan yang bertubi-tubi menghampiri.

Sejatinya saya bukanlah anggota dari salah satu organisasi pencinta alam. Saya tidak mahir ilmu survival, tidak terampil dalam packing, simpul-menyimpul, tali-temali, rajut-merajut, ayam-mengayam, sulam-menyulam dan keterampilan di alam bebas lainnya. Bahkan untuk meluluhkan hati seorang wanita yang saya kibarkan kertas (habis itu kertasnya dibawa turun kok) ucapan salam” untuknya di tepi Telaga Dewi pun sampai sekarang saya belum sanggup.

Rencana awal saya, Rujak, Cumiel, dan Etek Rosna (nama disamarkan demi alasan keamanan) akan sampai di basecamp di dekat menara pemancar paling lambat jam 23.59. pendakian akan kami mulai hari sabtu jam 3 dini hari, istirahat dan sholat subuh di shelter 2, sarapan di shelter 3, sampai di Telaga Dewi jam 12 siang, pendakian puncak setelah asyar dan menikmati sunset di puncak. Begitu.. indah dan terorganisirnya sebuah rencana. Sebuah aplikasi yang tepat 2 dari 4 prinsip manajemen. Jadi teringat presentasi dasar-dasar manajemen waktu mengulang mata kuliah tersebit untuk ke-3 kalinya.


Perjalanan kami mulai dengan naik mini bus trayek Padang - Bukittinggi pada hari Jum’at selepas isya. Perhentian kami di pasar Koto Baru, sebuah pasar di tepi jalan lintas Padang Panjang - Bukittingi yang sering kali menyebabkan macet saat aktifitas pasar sedang berlangsung. Sesampainya di pasar koto baru, kami melengkapi perlengkapan yang akan dibawa ke atas seperti kaos kaki tambahan, minyak tanah dan abu gosok, maklumlah diantara kami tidak ada yang ahli dalam api unggun, apalagi hendak mengendalikan api, air, dan udara seperti serial kartun yang dibintangi pendekar botak yang sering muncul di TV 14 inchi saya beberapa tahun silam.

di atas mobil pick up menuju posko pendaftaran

Sedikit melenceng dari rencana awal, jam 12 malam kurang beberapa menit kami baru menaiki mobil pick up yang kami carter untuk mengantar kami ke batas jalan aspal berjarak sekitar 2 km dari posko pendaftaran. Setelah itu kami lanjutkan dengan berjalan kaki menuju basecamp. Namun disinilah rintangan demi rintangan itu dimulai. Baru memulai beberapa langkah, terasa ada sesuatu yang menusuk dari dalam sepatu PDL yang saya pakai. ketika dicek ternyata besi kecil seperti anak hekter yang menonjol sedikit sehingga menusuk tumit kaki. Setelah ditangani kamipun melanjutkan perjalanan. Selang beberapa menit berjalan, masalah baru muncul lagi, dan itu kembali berasal dari sepatu. Kaki kanan saya bagian belakang sejajar mata kaki lecet dan hampir berdarah setelah mengalami gaya gesek yang hebat dengan sepatu. Bayangkan saja kaki saya yang mulus, lembut dan terawat ini bergesekan dengan sepatu PDL yang permukaannya seperti amplas. Untung saja plaster yang ditempelkan Cumiel pada bagian yang lecet cukup ampuh walaupun harus diganti setiap 2 jam perjalanan. Cumiel (terlihat) dengan senang hati menjalankan tugas mulia tersebut. Saat itu saya memakai kaos kaki yang hanya sedikit lebih tinggi dari mata kaki sehingga cepat melorot sampai-sampai tumit kaki pun terbuka.

Rintangan selanjutnya dalam perjalanan menuju basecamp malam itu (dan menjadi masalah paling berat untuk selanjutnya) yaitu carrier yang sangat tidak bersahabat dengan tubuh. Merknya Qu*chua 70+10, merk impor. Saya pinjam dari seorang teman. Harganya tergolong mahal untuk mahasiswa dan pendaki du’afa seperti saya. Penampakannya keren, busa tebal, sekilas backsystemnya terlihat keren karna bisa disetting sesuai ukuran torso. Awalnya backsystem saya setting di angka 170, sesuai dg tinggi saya. Tali webbingnya saya tarik sampai mentok, namun tetap bawahan carrier berada pada posisi dibawah pinggang. Setelah backsystemnya saya setting ulang hingga mentok untuk ukuran tinggi badan paling pendek, ada tampak perubahan, namun tetap saja bagian bawahnya jatuh di bawah pinggang. Bayangkan bagaimana menderitanya ujung bawah tulang belakang  saya saat itu, dan begitulah, penderitaan akibat carrier ini selalu setia menemani saya  sepanjang perjalanan naik hingga turun.

Setelah berjalan selama 1 jam 30 menit, akhirnya kami sampai di basecamp. Kami mendirikan tenda di dalam basecamp karena saat ini basecamp tersebut sudah dijadikan tempat parkir sepeda motor. Bahkan saat itu ada juga mobil disana. Cukup menyedihkan, karena saat saya ke Singgalang akhir Desember 2013, basecamp tersebut digunakan khusus untuk istirahat, ada ibu-ibu yang jualan, ada larangan mendirikan tenda dan juga larangan parkir sepeda motor  apalagi mobil. Sekarang dinding kayunya sudah banyak yang lepas. Mungkin diambil untuk kayu bakar mengingat disekitar situ sangat sulit mendapatkan kayu bakar.

Jam 2.00 setelah sholat isya, dalam keadaan lelah kami sepakat untuk memulai pendakian jam 8.00. melenceng dari rencana awal. kami menyalakan kompor kaleng bekas yang dimodifikasi bersama sumbu kompor dengan bahan bakar spiritus untuk menyiapkan air panas penyeduh teh dan kopi. Cukup menghangatkan bersama unggunan kecil yang kami buat dengan abu plus minyak tanah dan kayu seadanya. sebuah hal kecil, teh dan kopi panas, serta api unggun “mungil” yang tetap menyala saat kaki dan tangan kami menggigil. Cerita, canda, gelak dan tawa, berbagi dalam hangatnya persahabatan. Ya, bahagia itu sederhana.
***

Alarm di handphone saya berbunyi tepat jam 5.00. ya Karena memang saya setting tepat di jam 5.00. Kalah sama alarm Cumiel yang bunyi lebih dulu beberapa menit. Menurut investigasi dan analisa kasus saya subuh itu, dapat saya pastikan alarm Cumiel lebih cepat bunyi karena Cumiel mensetting alarm di jam yang lebih cepat beberapa menit daripada alarm saya. Cumiel lebih dulu bangkit dari alas matras di dalam tenda. Saya sudah terjaga, namun masih menikmati lembutnya matras dan hangatnya sleeping bag subuh itu. Saya masih menikmati, menikmati lagi, terus menikmati… oh Sungguh saya makin tersesat oleh buaiyan dan bisikan setan dalam rating iman yang fluktuatif ini. Sebelum tersesat lebih jauh, saya akhirnya berhasil melawan dan bangun subuh itu. Brrrrr… dinginnya seakan memaksa untuk kembali ke dalam balutan sleeping bag, namun niat yang lurus meluluhkan segalanya. Kami tayamum, untung juga tidak ada air :P, jadi wudhu’ nya tidak kedinginan.

sunrise pagi itu

Setelah teman-teman lain juga bangun, saya menyempatkan diri menikmati sunrise di belakang Gunung Marapi, menghirup udara pagi dalam-dalam, dan pastinya menempelkan kamera pada tripod yang menghadap ke arah jingga merah di sekitar Gunung Marapi. Tak lama kemudian datang Rujak membawakan segelas capuchino hangat. Lalu disusul oleh Etek Rosna dan Cumiel yg juga menbawa minuman hangat.

foto koluarga yang sering kali tidak lengkap

Setelah selesai packing dan segala persiapan,  kami memulai perjalanan tepat jam 7.50. sebelumnya. Kami mulai dengan breafing sederhana dan berdo’a menurut keyakinan kami masing-masing meskipun kami se-iman. Roti tawar dan en*rgen yang kami konsumsi sebelumnya terasa cukup membuat kami bertenaga dan bersemangat.

Perjalanan dimulai dengan memasuki hutan pimpiang. Pimpiang merupakan tanaman seperti ilalang, namun batangnya lebih besar dan tinggi. Seperti tebu, tapi agak rendah dan batangnya lebih kecil. Trek disini cukup menanjak dan licin. banyak batang pimpiang yang menjulur sehingga menyulitkan langkah. Tambah lagi terowongan yang terbentuk oleh gumpalan tanaman pimpiang yang memaksa kami untuk merunduk, bahkan harus merangkak saat melewatinya. Berkali-kali carrier saya tersangkut, bahkan sudah merangkakpun tetap saja nyangkut. Hal itu membuat energi kami cepat terkuras. Parahnya diantara kami tidak ada yang berolah raga sebelum pendakian ini. Masih ingat persoalan carrier semalam?? Yups, menyiksa banget. Bahkan carrier Avt*ch yang menurut saya agak cukup menyiksa di akhir 2013 lalu masih jauh lebih nyaman daripada carrier seharga 1.000 butir telur ayam ras ini. Titik masalahnya memang terletak pada backsystem yang tidak cocok dengan punggung rata-rata orang Indonesia.

Namun apapun rintangannya perjalanan tetap kami lanjutkan meskipun seringkali istirahat. Dengan tertatih, jam 9.40 akhirnya kami sampai di shelter 1. Sumber airnya di selokan kecil menurun beberapa meter dari jalur. Area ini tidak begitu luas, hanya bisa menampung sekitar 2-3 tenda. Disini juga jarang pendaki mendirikan tenda. Setelah istirahat dan makan, kami melanjutkan perjalanan menuju shelter 2. Pastinya tetap menanjak tanpa sedikitpun jalur bonus. Masih melalui jalur yang dipenuhi tumbuhan pimpiang. Namun semakin dekat ke shelter 2, konsentrasi tumbuhan ini semakin berkurang. 

Shelter 2 merupakan area datar. Sumber airnya berupa selokan yang membelah jalur pendakian. Disini bisa menampung kira-kira 6-8 tenda. Airnya bersih, bebas dari bau dan kontaminasi benda asing. Normalnya perjalanan ke shelter 2 memakan waktu 2 jam dari basecamp. Namun kami sampai jam 13.40. Saking dinginnnya diantara kami ada yang ingin tayamum, padahal sumber air begitu dekat dan melimpah. Sempat kami memasang flysheet saat hujan sedikit mulai turun. Namun tak lama dibongkar lagi karena hujan tak jadi turun dan mulai lagi berjalan.

ibu-ibu PKK bersantai di dekat shelter 3

Perjalanan ke shelter 3 tetap menanjak, bahkan kimiringannya mulai tinggi. Dari sini konsentrasi tumbuhan pimpiang mulai sedikit dan perlahan-lahan hilang. Kami tetap berjalan walau pelan dan sering berhenti. makan siang sebelum shelter 3, hingga sampai di shelter 3 lewat dari jam 5. Istirahat sebentar, mengambil air, lalu tetap lanjut berjalan.

Dari shelter 3 menuju cadas merupakan klimaks dari segala rintangan saat itu. Faktor lelah, letih dan semakin minimnya energi berakumulasi  seakan memaksa kami untuk menyudahi saja pendakian ini. Parahnya hal tersebut dikombinasikan pula dengan tanjakan yang kian terjal. Berkali-kali harus memanjat akar, berkali-kali rok Cumiel dan Etek Rosna tersangkut. Pelan tapi pasti kami tetap melanjutkan. Di tengah gelap gulita, tanjakan dan vegetasi ini seakan tiada berakhir. Bergantian diantara kami sering minta istirahat. Sesaat saya terhenti dan tersentak lalu berkata, “bukankah tadi kita sudah lewat disini??!!” Raut wajah teman-teman sesaat kaget. Yah, memang saat itu rasanya seperti berputar-putar saja di tempat yang sama. Selanjutnya sayapun sadar bahwa kata-kata itu tidak pantas saya lontarkan karna hanya akan menambah ketakutan dan kian memudarkan semangat yang memang sudah pudar.

Sebelum memasuki cadas, kabut tebal bercampur air mulai menyerang. Angin mulai terasa kencang saat memasuki kawasan cadas sekitar jam 9-an malam. Sialnya kabut seperti ini seringkali menerpa saya tiap kali melewati kawasan cadas Singgalang. Cukup menggoyahkan saat kami hendak sampai di tugu Galapagos. Tugu Galapagos dibangun oleh anggota sispala SMUN 1 Padang untuk mengenang 2 orang teman mereka yang hilang disekitar cadas. Konon kabarnya sampai saat ini jasadnya belum ditemukan.

Setelah berjalan beberapa meter dari tugu dan meninggalkan bebatuan cadas, Cumiel mulai kelelahan hebat. Tubuhnya menggigil, badannya lemah. Refleks kami membentangkan flysheet, menyalakan kompor dan unggunan kecil. Pertolongan pertama saat itu pengaruhnya sangat signifikan. Terasa tidak masuk akal, mie instan dan teh hangat saat itu langsung membuat Cumiel bersemangat tanpa tanda-tanda letih sedikitpun, sehingga perjalanan kami lanjutkan kembali dengan memasuki hutan lumut.

Sesuai namanya, hutan lumut bukanlah hutan yang dipenuhi oleh pohon kurma. Disini tidak pernah ditemui kabilah dagang Arab dengan onta yang membawa barang dagangannya. Tidak pula ditemukan populasi kadal raksasa yg konon kabarnya merupakan hewan purba prasejarah. Hutan lumut adalah kawasan lembab yang dipenuhi lumut, trek yang becek dan lembab. Sempat pula kami salah jalur beberapa meter disini. Tak sampai 30 menit menyusuri hutan lumut, akhirnya kami mendengar suara pendaki lain yang telah mendirikan tenda di tepi telaga. Suatu tanda bahwa kami sudah semakin dekat. Dan akhirnya kami sampai di tepian telaga sembari sujud syukur dalam haru dan bahagia.
***
Bersambung ..

Senin, 21 Desember 2015

Jingga Senja dan Kerlip Cahaya Di Teluk Bayur


Lambaian tanganmu ku rasakan pilu di dada,  
Kasih sayang ku bertambah padamu 
Air mata berlinang tak terasakan olehku 
Nantikanlah aku di Teluk bayur..

Sepenggal bait kidung nostalgia dari Fary firyana diatas cukup  menggambarkan bahwa pelabuhan ini sangat masyur dulunya. Cerita tentang perpisahan, penantian tak berkesudahan, dan pertemuan yang sarat akan luapan emosi. Semua menegaskan bahwa teluk bayur bukan hanya tentang kapal yang berlabuh dan pergi, juga bukan hanya tentang aktifitas bongkar muat yang telah berlangsung sejak zaman kolonial.


Sore itu kami duduk di sisi teluk yang berhadapan langsung dengan pelabuhan

sebelum matahari terbenam
jingga senja
blue hours dan golden hours
Sore hingga malam itu masih nampak sisa sisa kejayaannya. Seakan masih nampak kapal Tampomas berlabuh, menurunkan jangkar, mengikatkan tambang, dan menampakkan haru pertemuan setelah sekian lama perpisahan

sampai jumpa pada jingga berikutnya

Menyusuri Hutan Gambir Menuju Air Terjun Siguntur Tuo


Menginjakkan kaki di sumatera barat memang penuh dengan hasrat untuk menjelajahi sisi tersembunyinya. Kontur tanah tidak rata, yang membentuk lembah, bukit, gunung, dataran, tebing, justru menjadi tempat tersendiri untuk kita menjelajahi surga surga tersembunyi

Cukup untuk muqadimah yang amat teramat sangat panjang tadi,  :P kali ini kita akan menjelajah ke nagari siguntur, kabupaten pesisir selatan. Kawasan siguntur yang terkenal akan produksi gambirnya ini dapat ditempuh lebih kurang 1 jam dari pusat kota padang. Nagari di atas sebuah perbukitan, rata rata mata pencaharian penduduk disini adalah bertani & berkebun. Mungkin sebagian mencari batu akik, penadah batu akik, tukang asah batu akik, & kolektor batu akik :P .

Oke, cukup untuk muqadimah keduanya :P tujuan kita kali ini adalah air terjun siguntur tuo, seperti namanya, ia berada di nagari siguntur. Trek motor cukup mulus, sampai pada pemberhentian terakhir a.k.a tempat parkir, dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 20 menit melintasi semak, menyeberang sungai, meniti pematang sawah, menyeberangi sungai lagi, menjajaki kebun kebun gambir, lalu kita akan disambut oleh gemuruh air yang menyejukkan.



Selfie dulu biar kekinian :P



Warga nagari siguntur sangat ramah dan terbuka pada pendatang. Silahkan bertanya dan tidak sulit untuk mendapatkan jawabannya.

Jumat, 04 Desember 2015

Ahlan wa sahlan, catatan diri seorang mahasiswa tingkat akhir

Suatu pagi di Gunung Talang

Ahlan wa sahlan, Selamat datang di blog sederhana, alakadar, dan seadanya ini. Ini hanya beberapa coretan tentang sebuah perjalanan kecil dari seorang mahasiswa tingkat (sangat) akhir yang masih bergelut dengan yang namanya skripsi.
Saya suka memotret, sampai saat ini masih belajar memotret dengan baik dan benar menggunakan kamera tua sekedarnya. Meskipun sampai saat ini belum pernah menghasilkan foto yang bagus. Saya suka traveling, jalan jalan, atau berpetualang. Misalnya ke rumah tetangga, ke kos teman teman, apalagi kalau mereka baru pulang dari kampung. ke warung dekat rumah, atau agak jauh sedikit ke mini market di seberang jalan yang tiap bulan gonta ganti karyawati sampai sampai tulisan “lowongan kerja” di dinding mini market masih menempel dari berbulan-bulan yang lalu. Lebih jauh lagi ke warung nasi berjarak lebih kurang 0,15 km dari mini market seberang. Hanya untuk membeli lauk, karena membeli nasi bungkus sangat menguras sumber daya sehingga berdampah banyak hal di kemudian hari. Seperti menahan selera, cemilan, bahkan sampai puasa. Agak lebih jauh lagi, jika sedang kaya raya, saya ke rumah makan padang yang berjarak 0,4 km dari mini market seberang. Saya pastikan disitu masakan padang walaupun tidak ada tulisan “masakan Padang”.  kenapa hanya membeli lauk? Tak perlu lagi saya jelaskan alasannya.
Pada dasarnya saya bukanlah ahli matematika, aljabar, trigonometri, matrix, diferensial, kalkulus dan sebagainya yang berhubungan dengan itu. Saya juga tidak terampil memasak, juga tidak ahli dalam merancang busana. Jadi dapat dipastikan blog ini tidak akan bercerita tentang hal hal di atas.

Saya juga tidak ahli menulis, tidak mengerti majas, EYD, tidak juga paham dengan kesusasteraan. Benar benar tidak tahu diri sama sekali untuk membuat sebuah blog.. -_-

Namun apapun itu, blog ini hanyalah sebuah wadah untuk berbagi, sedikit pengalaman, foto foto sederhana, ataupun cerita yang mungkin terdengar asing dan tidak umum, tidak mengikuti aturan penulisan, atau terdengar seperti menggunakan bahasa sanskerta.

Welcome, and enjoy ..
x