pagi hari di telaga dewi |
“Ada
telaga di kawasan puncak
gunung Singgalang”. Itu diajarkan oleh guru pada mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial waktu saya masih duduk di bangku (kadang di meja) sekolah dasar. Namun perjalanan ini bukanlah untuk
membuktikan kebenaran tentang adanya telaga tersebut. Bukan juga untuk
membuktikan keberadaan menara pemancar tepat di puncaknya, apalagi hendak
membenarkan tiang-tiangnya yang roboh. Entah apa judul yang tepat untuk
perjalanan ini. Disini kami takjub akan indah ciptaan Sang Khalid, Sadar betapa
kecil, rendah dan lemahnya kami. Ini juga sebuah perjalanan untuk kami memahami
dan mempelajari diri, dimana diantara kami lebih memilih sebuah ambisi pribadi,
atau justru memilih mengesampingkan ego diantara rintangan yang bertubi-tubi
menghampiri.
Sejatinya saya bukanlah anggota dari salah satu organisasi
pencinta alam. Saya
tidak mahir ilmu
survival, tidak terampil dalam packing, simpul-menyimpul, tali-temali, rajut-merajut, ayam-mengayam, sulam-menyulam dan keterampilan di alam bebas lainnya. Bahkan untuk meluluhkan
hati seorang wanita yang saya kibarkan
kertas
(habis itu kertasnya dibawa turun kok) ucapan “salam” untuknya di tepi Telaga Dewi pun sampai sekarang saya
belum sanggup.
Rencana
awal saya, Rujak, Cumiel, dan Etek Rosna (nama disamarkan demi alasan keamanan) akan
sampai di basecamp di dekat menara pemancar paling lambat jam 23.59. pendakian
akan kami mulai hari sabtu jam 3 dini hari, istirahat dan sholat subuh di
shelter 2, sarapan di shelter 3, sampai di Telaga Dewi jam 12 siang, pendakian
puncak setelah asyar dan menikmati sunset di puncak. Begitu.. indah dan terorganisirnya
sebuah rencana. Sebuah aplikasi yang tepat 2 dari 4 prinsip manajemen. Jadi
teringat presentasi dasar-dasar manajemen waktu mengulang mata kuliah tersebit untuk
ke-3 kalinya.
Perjalanan
kami mulai dengan naik mini bus trayek Padang - Bukittinggi pada hari Jum’at
selepas isya. Perhentian kami di pasar Koto Baru, sebuah pasar di tepi jalan
lintas Padang Panjang - Bukittingi yang sering kali menyebabkan macet saat
aktifitas pasar sedang berlangsung. Sesampainya di pasar koto baru, kami
melengkapi perlengkapan yang akan dibawa ke atas seperti kaos kaki tambahan,
minyak tanah dan abu gosok, maklumlah diantara kami tidak ada yang ahli dalam api unggun, apalagi hendak
mengendalikan api, air, dan udara seperti serial kartun yang dibintangi
pendekar botak yang sering muncul di TV 14 inchi saya beberapa tahun silam.
di atas mobil pick up menuju posko pendaftaran |
Sedikit
melenceng dari rencana awal, jam 12 malam kurang beberapa menit kami baru
menaiki mobil pick up yang kami carter untuk mengantar kami ke batas jalan
aspal berjarak sekitar 2 km dari posko pendaftaran. Setelah itu kami lanjutkan
dengan berjalan kaki menuju basecamp. Namun disinilah rintangan demi rintangan
itu dimulai. Baru memulai beberapa langkah, terasa ada sesuatu yang menusuk dari
dalam sepatu PDL yang saya pakai. ketika dicek ternyata besi kecil seperti anak
hekter yang menonjol sedikit
sehingga menusuk tumit kaki. Setelah ditangani kamipun melanjutkan perjalanan.
Selang beberapa menit berjalan, masalah baru muncul lagi, dan itu kembali
berasal dari sepatu. Kaki kanan saya bagian belakang sejajar mata kaki lecet dan
hampir berdarah setelah
mengalami gaya gesek yang hebat dengan sepatu. Bayangkan saja kaki saya yang
mulus, lembut dan terawat ini bergesekan dengan sepatu PDL yang permukaannya
seperti amplas. Untung saja plaster yang ditempelkan Cumiel pada bagian yang
lecet cukup ampuh walaupun harus diganti setiap 2 jam perjalanan. Cumiel
(terlihat) dengan senang hati menjalankan tugas mulia tersebut. Saat itu
saya memakai kaos kaki yang hanya sedikit lebih tinggi dari mata kaki sehingga
cepat melorot sampai-sampai tumit kaki pun terbuka.
Rintangan
selanjutnya dalam perjalanan menuju basecamp malam itu (dan menjadi masalah
paling berat untuk selanjutnya) yaitu carrier yang sangat tidak bersahabat
dengan tubuh. Merknya Qu*chua 70+10, merk impor. Saya pinjam dari seorang
teman. Harganya tergolong mahal untuk mahasiswa dan pendaki du’afa seperti
saya. Penampakannya keren, busa tebal, sekilas backsystemnya terlihat keren
karna bisa disetting sesuai ukuran torso. Awalnya backsystem saya setting di
angka 170, sesuai dg tinggi saya. Tali webbingnya saya tarik sampai mentok,
namun tetap bawahan carrier berada pada posisi dibawah pinggang. Setelah
backsystemnya saya setting ulang hingga mentok untuk ukuran tinggi badan paling
pendek, ada tampak perubahan, namun tetap saja bagian bawahnya jatuh di bawah
pinggang. Bayangkan bagaimana menderitanya ujung bawah tulang belakang saya saat itu, dan begitulah, penderitaan
akibat carrier ini selalu setia menemani saya
sepanjang perjalanan naik hingga turun.
Setelah
berjalan selama 1 jam 30 menit, akhirnya kami sampai di basecamp. Kami
mendirikan tenda di dalam basecamp karena saat ini basecamp tersebut sudah
dijadikan tempat parkir sepeda motor. Bahkan saat itu ada juga mobil disana.
Cukup menyedihkan, karena saat saya ke Singgalang akhir Desember 2013, basecamp
tersebut digunakan khusus untuk istirahat, ada ibu-ibu yang jualan, ada
larangan mendirikan tenda dan juga larangan parkir sepeda motor apalagi mobil. Sekarang dinding kayunya sudah
banyak yang lepas. Mungkin diambil untuk kayu bakar mengingat disekitar situ
sangat sulit mendapatkan kayu bakar.
Jam
2.00 setelah sholat isya, dalam keadaan lelah kami sepakat untuk memulai
pendakian jam 8.00. melenceng dari rencana awal. kami menyalakan kompor kaleng
bekas yang dimodifikasi bersama sumbu kompor dengan bahan bakar spiritus untuk menyiapkan
air panas penyeduh teh dan kopi. Cukup menghangatkan bersama unggunan kecil
yang kami buat dengan abu plus minyak tanah dan kayu seadanya. sebuah hal
kecil, teh dan kopi panas, serta api unggun “mungil” yang tetap menyala saat
kaki dan tangan kami menggigil. Cerita, canda, gelak dan tawa, berbagi dalam
hangatnya persahabatan. Ya, bahagia itu sederhana.
***
Alarm
di handphone saya berbunyi tepat jam 5.00. ya Karena memang saya setting tepat
di jam 5.00. Kalah sama alarm Cumiel yang bunyi lebih dulu beberapa menit.
Menurut investigasi dan analisa kasus saya subuh itu, dapat saya pastikan alarm
Cumiel lebih cepat bunyi karena Cumiel mensetting alarm di jam yang lebih cepat
beberapa menit daripada alarm saya. Cumiel
lebih dulu bangkit dari alas matras di dalam tenda. Saya sudah terjaga, namun
masih menikmati lembutnya matras dan hangatnya sleeping bag subuh itu. Saya
masih menikmati, menikmati lagi, terus menikmati… oh Sungguh saya makin
tersesat oleh buaiyan dan bisikan setan dalam
rating iman yang fluktuatif ini. Sebelum tersesat lebih jauh, saya akhirnya
berhasil melawan dan bangun subuh itu. Brrrrr… dinginnya seakan memaksa untuk
kembali ke dalam balutan sleeping bag, namun niat yang lurus meluluhkan
segalanya. Kami tayamum, untung juga tidak ada air :P, jadi wudhu’ nya tidak
kedinginan.
sunrise pagi itu |
Setelah
teman-teman lain juga bangun, saya menyempatkan diri menikmati sunrise di
belakang Gunung Marapi,
menghirup udara pagi dalam-dalam, dan pastinya menempelkan kamera pada tripod
yang menghadap ke arah jingga merah di sekitar Gunung Marapi. Tak lama kemudian datang Rujak membawakan segelas capuchino hangat. Lalu disusul oleh Etek
Rosna dan Cumiel yg
juga menbawa minuman hangat.
foto koluarga yang sering kali tidak lengkap |
Setelah
selesai packing dan segala persiapan, kami
memulai perjalanan tepat jam 7.50. sebelumnya. Kami mulai dengan breafing sederhana dan berdo’a menurut keyakinan kami
masing-masing meskipun kami se-iman. Roti tawar dan en*rgen yang kami konsumsi
sebelumnya terasa cukup membuat kami bertenaga dan bersemangat.
Perjalanan
dimulai dengan memasuki hutan pimpiang. Pimpiang merupakan tanaman seperti
ilalang, namun batangnya lebih besar dan tinggi. Seperti tebu, tapi agak rendah
dan batangnya lebih kecil. Trek disini cukup menanjak dan licin. banyak batang
pimpiang yang menjulur sehingga menyulitkan langkah. Tambah lagi terowongan
yang terbentuk oleh gumpalan tanaman pimpiang yang memaksa kami untuk merunduk,
bahkan harus merangkak saat melewatinya. Berkali-kali carrier saya tersangkut,
bahkan sudah merangkakpun tetap saja nyangkut. Hal itu membuat energi kami cepat terkuras.
Parahnya diantara kami tidak ada yang berolah raga sebelum pendakian ini. Masih ingat persoalan carrier semalam??
Yups, menyiksa banget. Bahkan carrier Avt*ch yang menurut saya agak cukup
menyiksa di akhir 2013 lalu masih jauh lebih nyaman daripada carrier seharga
1.000 butir telur ayam ras ini. Titik masalahnya memang terletak pada
backsystem yang tidak cocok dengan punggung rata-rata orang Indonesia.
Namun
apapun rintangannya perjalanan tetap kami lanjutkan meskipun seringkali
istirahat. Dengan tertatih, jam 9.40 akhirnya kami sampai di shelter 1. Sumber
airnya di selokan kecil menurun beberapa meter dari jalur. Area ini tidak
begitu luas, hanya bisa menampung sekitar 2-3 tenda. Disini juga jarang pendaki
mendirikan tenda. Setelah istirahat dan makan, kami melanjutkan perjalanan
menuju shelter 2. Pastinya tetap menanjak tanpa sedikitpun jalur bonus. Masih
melalui jalur yang dipenuhi tumbuhan pimpiang. Namun semakin dekat ke shelter
2, konsentrasi tumbuhan ini semakin berkurang.
Shelter 2 merupakan
area datar. Sumber airnya berupa selokan yang membelah jalur pendakian. Disini
bisa menampung kira-kira 6-8 tenda. Airnya bersih, bebas dari bau dan kontaminasi
benda asing. Normalnya perjalanan ke shelter 2 memakan waktu 2 jam dari
basecamp. Namun kami sampai jam 13.40. Saking dinginnnya diantara kami ada yang
ingin tayamum, padahal sumber air begitu dekat dan melimpah. Sempat kami memasang
flysheet saat hujan sedikit mulai turun. Namun tak lama dibongkar lagi karena
hujan tak jadi turun dan mulai lagi berjalan.
ibu-ibu PKK bersantai di dekat shelter 3 |
Perjalanan
ke shelter 3 tetap menanjak, bahkan kimiringannya mulai tinggi. Dari sini
konsentrasi tumbuhan pimpiang mulai sedikit dan perlahan-lahan hilang. Kami
tetap berjalan walau pelan dan sering berhenti. makan siang sebelum shelter 3,
hingga sampai di shelter 3 lewat dari jam 5. Istirahat sebentar, mengambil air,
lalu tetap lanjut berjalan.
Dari
shelter 3 menuju cadas merupakan klimaks dari segala rintangan saat itu. Faktor
lelah, letih dan semakin minimnya energi berakumulasi seakan memaksa kami untuk menyudahi saja
pendakian ini. Parahnya hal tersebut dikombinasikan pula dengan tanjakan yang kian
terjal. Berkali-kali harus memanjat akar, berkali-kali rok Cumiel dan Etek Rosna
tersangkut. Pelan tapi pasti kami tetap melanjutkan. Di tengah gelap gulita,
tanjakan dan vegetasi ini seakan tiada berakhir. Bergantian diantara kami
sering minta istirahat. Sesaat saya terhenti dan tersentak lalu berkata, “bukankah
tadi kita sudah lewat disini??!!” Raut wajah teman-teman sesaat kaget. Yah,
memang saat itu rasanya seperti berputar-putar saja di tempat yang sama.
Selanjutnya sayapun sadar bahwa kata-kata itu tidak pantas saya lontarkan karna
hanya akan menambah ketakutan dan kian memudarkan semangat yang memang sudah
pudar.
Sebelum
memasuki cadas, kabut tebal bercampur air mulai menyerang. Angin mulai terasa
kencang saat memasuki kawasan cadas sekitar jam 9-an malam. Sialnya kabut seperti ini
seringkali menerpa saya tiap kali melewati kawasan cadas Singgalang. Cukup menggoyahkan
saat kami hendak sampai di tugu Galapagos. Tugu Galapagos dibangun oleh anggota
sispala SMUN 1 Padang untuk mengenang 2 orang teman mereka yang hilang
disekitar cadas. Konon kabarnya sampai saat ini jasadnya belum ditemukan.
Setelah
berjalan beberapa meter dari tugu dan meninggalkan bebatuan cadas, Cumiel mulai
kelelahan hebat. Tubuhnya menggigil, badannya lemah. Refleks kami membentangkan
flysheet, menyalakan kompor dan unggunan kecil. Pertolongan pertama saat itu
pengaruhnya sangat signifikan. Terasa tidak masuk akal, mie instan dan teh
hangat saat itu langsung membuat Cumiel bersemangat tanpa tanda-tanda letih
sedikitpun, sehingga perjalanan kami lanjutkan kembali dengan memasuki hutan
lumut.
Sesuai
namanya, hutan lumut bukanlah hutan yang dipenuhi oleh pohon kurma. Disini tidak
pernah ditemui kabilah dagang Arab dengan onta yang membawa barang dagangannya.
Tidak pula ditemukan populasi kadal raksasa yg konon kabarnya merupakan hewan
purba prasejarah. Hutan lumut adalah kawasan lembab yang dipenuhi lumut, trek
yang becek dan lembab. Sempat pula kami salah jalur beberapa meter disini. Tak
sampai 30 menit menyusuri hutan lumut, akhirnya kami mendengar suara pendaki
lain yang telah mendirikan tenda di tepi telaga. Suatu tanda bahwa kami sudah
semakin dekat. Dan akhirnya kami sampai di tepian telaga sembari sujud syukur
dalam haru dan bahagia.
***
Bersambung ..