Telaga Dewi pada suatu pagi |
"...lalu bercerita tentang masing-masing kita, tentang cinta yang pernah menyala, tentang kisah yang tak sudah, tentang kasih tak sampai .."
Malam
itu saat kelelahan hebat, kami mendirikan 2 tenda yang kelupaan bawa seluruh pancangnya.
Kami memasak mie instan
untuk menghangatkan, Dilanjutkan dengan membuat unggunan kecil dengan kayu
seadanya yang kembali menghangatkan tubuh yang sempat menggil, kami juga
menyiapkan minuman penghangat.
Kami
paham betul teori kesehatan yang tidak menyarankan untuk makan dan minum dengan
sendok dan gelas bergantian. Namun kami lebih percaya bahwa antibodi kami masih
sangat tangguh, kami lebih meyakini disitu letak romantisme persahabatan.
berebutan mie rebus, yang hanya 1 mangkok, bergantian mengecup segelas teh dan
segelas kopi.
***
Di
tepi Telaga Dewi, malam itu permukaannya tenang, tak tampak riak, tak juga
tampak kabut. Hanya irama sunyi, refleksi bintang dan langit cerah. Lalu
bercerita tentang masing-masing kita, tentang cinta yang pernah menyala, tentang
kisah yang tak sudah, tentang kasih tak sampai. Kembali terniang tentang Dia,
saat terjaga sebelum pejamkan mata. Lalu kami terlelap berselimut imaji dibawah
bintang-bintang dan tata surya lain yang bernaung dalam galaksi bima sakti.
“…..Dan tangannya yang
halus membelai, Tak ingin ku lepas sampai ku terlelap”
***
Matahari pagi di antara Cantigi |
Keheningan
subuh itu terpecah saat terdengar tilawah nan merdu dari luar tenda. Sangat
merdu, bacaannya fasih, tajwidnya jelas, dan yang pasti iramanya indah meski dalam
tema semi maratal. Benar dugaan saya, siapa lagi kalau bukan ami. Saat
menyibakkan pintu tenda, tampak telaga yang tenang dengan kabut-kabut tipis di
atas permukaannya. Sejuk penuh kedamaian. Rona jingga dan merah fajar masih
merekah. Masih jam 6 kurang beberapa menit, saatnya menunaikan kewajiban
sebagai seorang muslim. Maunya tayamum, :P tapi itu sungguh sebuah ide bodoh
-_- . brrrrrr, saat menyentuh telaga, tangan yang sebelumnya sudah kaku dan
menggigil ini seperti dipaksa menyentuh gumpalan es yang baru mencair di sekitar
karang es. Ekspresi kedinginan saya seperti Uda Jek menggigil ganteng berendam
bersama kekasihnya Uni iroih saat menunggu pertolongan di laut Atlantik utara
waktu biduk mereka tenggelam. Bedanya tipis, rambut saya agak ikal. :P
Pagi
itu sebelum sarapan, kami main ke dermaga, berjalan di dalam hutan lumut, tak
lupa trend yang lagi kekinian, yaaaaa, selfie, groufie, juga foto pake kertas.
Tenang saja, kertasnya dibawa turun kok.
dermaga kayu yang kian lapuk |
Telaga
Dewi yang konon kabarnya tidak ada satupun daun gugur di permukaan airnya
merupakan tujuan utama bagi pendaki gunung Singgalang. jaraknya ke puncak hanya
sekitar 30 menit-an perjalanan. Telaga ini ibarat surganya gunung Singgalang,
berhias pohon-pohon Cantigi nan khas dan eksotis serta dikelilingi hutan lumut.
Telaga ini seakan menyimpan sejuta misteri yang belum terpecahkan, apalagi saat
kabut menutup habis semua permukaan telaga.
Banyak
yang menyebut istilah “misty of Telaga Dewi”. Kakak saya yang juga suka
mendaki, pernah menceritakan pengalaman misteriusnya di telaga ini. Saat itu ia
dan teman-teman camp di tepi telaga. Tengah malam saat keluar dari tenda, ia
menemukan air telaga berubah warna menjadi lembayung, saat bersamaan keluar
sesosok wanita dari tengah telaga selama beberapa detik lalu menghilang. Kisah
yang sama sering terulang dan dikisahkan pula oleh teman-teman yang lain.
siapa dan untuk apa ya pohon ini ditebang?? |
***
Perjalanan
turun kami mulai minggu jam 12.30.
sebelumnya sempat beraktifitas di tepian telaga mulai dari selfie, santai,
menyendiri, jungkir balik, cari inspirasi, cari batu akik, bahkan sampai “make
a wish”. Istirahat, packing, dan terakhir foto keluarga. Setelah melewati hutan
lumut kami berhenti sejenak di tugu Galapagos seraya berdo’a untuk nama yang
tertulis pada tugu. Lalu perjalanan kami lanjutkan kembali. Tidak butuh waktu
lama sampai di shelter 3, saat istirahat dan makan, hujan turun dengan
derasnya. Bagaimanapun perjalanan tetap harus dilanjutkan. Setelah memastikan
pano dan raincoat terpasang sempurna, kami melanjutkan perjalanan pada trek
licin di tengah guyuran hujan deras. Berkali kali kami terpeleset secara
bergantian.
yang nyandar udah bobok, udah merem, tapi kok tetap ganteng ya?? takdir?? :P |
Tidak
butuh waktu lama, trek licin yang kami lalui berubah menjadi aliran air seiring
dengan semakin derasnya hujan. Kami seeperti berjalan pada selokan besar. Pano
yang kami gunakan tak lagi mampu melindungi badan dari kebasahan. Energi sudah
sangat terkuras sesampai di shelter 2. Dengan tertatih kami kadang harus maju
mundur cantik dan merunduk ganteng melewati terowongan hutan pimpiang yang seakan tiada habisnya.
Sekitar jam 19.30 kami keluar dari hutan pimpiang. Tampak Cumiel sujud syukur
di bawah guyuran hujan. lalu kami beristirahat di basecamp. Merasa perjalanan
ke Padang tak mungkin dilanjutkan malam itu, kami memutuskan untuk menginap di
basecamp dan melanjutkan perjalanan ke koto baru Senen dini hari sebelum sholat
subuh.
satu kerinduan akan rumah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar