Minggu, 13 Maret 2016

Pendakian Gunung Singgalang (Part II) “merdu tilawah dan cahaya-Nya di tepi Telaga”

Telaga Dewi pada suatu pagi

"...lalu bercerita tentang masing-masing kita, tentang cinta yang pernah menyala, tentang kisah yang tak sudah, tentang kasih tak sampai .."

Malam itu saat kelelahan hebat, kami mendirikan 2 tenda yang kelupaan bawa seluruh pancangnya. Kami memasak mie instan untuk menghangatkan, Dilanjutkan dengan membuat unggunan kecil dengan kayu seadanya yang kembali menghangatkan tubuh yang sempat menggil, kami juga menyiapkan minuman penghangat.

Kami paham betul teori kesehatan yang tidak menyarankan untuk makan dan minum dengan sendok dan gelas bergantian. Namun kami lebih percaya bahwa antibodi kami masih sangat tangguh, kami lebih meyakini disitu letak romantisme persahabatan. berebutan mie rebus, yang hanya 1 mangkok, bergantian mengecup segelas teh dan segelas kopi.
***
Di tepi Telaga Dewi, malam itu permukaannya tenang, tak tampak riak, tak juga tampak kabut. Hanya irama sunyi, refleksi bintang dan langit cerah. Lalu bercerita tentang masing-masing kita, tentang cinta yang pernah menyala, tentang kisah yang tak sudah, tentang kasih tak sampai. Kembali terniang tentang Dia, saat terjaga sebelum pejamkan mata. Lalu kami terlelap berselimut imaji dibawah bintang-bintang dan tata surya lain yang bernaung dalam galaksi bima sakti.

“…..Dan tangannya yang halus membelai, Tak ingin ku lepas sampai ku terlelap”
***

Matahari pagi di antara Cantigi
Keheningan subuh itu terpecah saat terdengar tilawah nan merdu dari luar tenda. Sangat merdu, bacaannya fasih, tajwidnya jelas, dan yang pasti iramanya indah meski dalam tema semi maratal. Benar dugaan saya, siapa lagi kalau bukan ami. Saat menyibakkan pintu tenda, tampak telaga yang tenang dengan kabut-kabut tipis di atas permukaannya. Sejuk penuh kedamaian. Rona jingga dan merah fajar masih merekah. Masih jam 6 kurang beberapa menit, saatnya menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Maunya tayamum, :P tapi itu sungguh sebuah ide bodoh -_- . brrrrrr, saat menyentuh telaga, tangan yang sebelumnya sudah kaku dan menggigil ini seperti dipaksa menyentuh gumpalan es yang baru mencair di sekitar karang es. Ekspresi kedinginan saya seperti Uda Jek menggigil ganteng berendam bersama kekasihnya Uni iroih saat menunggu pertolongan di laut Atlantik utara waktu biduk mereka tenggelam. Bedanya tipis, rambut saya agak ikal. :P

Pagi itu sebelum sarapan, kami main ke dermaga, berjalan di dalam hutan lumut, tak lupa trend yang lagi kekinian, yaaaaa, selfie, groufie, juga foto pake kertas. Tenang saja, kertasnya dibawa turun kok.
dermaga kayu yang kian lapuk
Telaga Dewi yang konon kabarnya tidak ada satupun daun gugur di permukaan airnya merupakan tujuan utama bagi pendaki gunung Singgalang. jaraknya ke puncak hanya sekitar 30 menit-an perjalanan. Telaga ini ibarat surganya gunung Singgalang, berhias pohon-pohon Cantigi nan khas dan eksotis serta dikelilingi hutan lumut. Telaga ini seakan menyimpan sejuta misteri yang belum terpecahkan, apalagi saat kabut menutup habis semua permukaan telaga.

Banyak yang menyebut istilah “misty of Telaga Dewi”. Kakak saya yang juga suka mendaki, pernah menceritakan pengalaman misteriusnya di telaga ini. Saat itu ia dan teman-teman camp di tepi telaga. Tengah malam saat keluar dari tenda, ia menemukan air telaga berubah warna menjadi lembayung, saat bersamaan keluar sesosok wanita dari tengah telaga selama beberapa detik lalu menghilang. Kisah yang sama sering terulang dan dikisahkan pula oleh teman-teman yang lain.
 
siapa dan untuk apa ya pohon ini ditebang??
***
Perjalanan turun kami mulai minggu  jam 12.30. sebelumnya sempat beraktifitas di tepian telaga mulai dari selfie, santai, menyendiri, jungkir balik, cari inspirasi, cari batu akik, bahkan sampai “make a wish”. Istirahat, packing, dan terakhir foto keluarga. Setelah melewati hutan lumut kami berhenti sejenak di tugu Galapagos seraya berdo’a untuk nama yang tertulis pada tugu. Lalu perjalanan kami lanjutkan kembali. Tidak butuh waktu lama sampai di shelter 3, saat istirahat dan makan, hujan turun dengan derasnya. Bagaimanapun perjalanan tetap harus dilanjutkan. Setelah memastikan pano dan raincoat terpasang sempurna, kami melanjutkan perjalanan pada trek licin di tengah guyuran hujan deras. Berkali kali kami terpeleset secara bergantian.
yang nyandar udah bobok, udah merem, tapi kok tetap ganteng ya?? takdir?? :P
Tidak butuh waktu lama, trek licin yang kami lalui berubah menjadi aliran air seiring dengan semakin derasnya hujan. Kami seeperti berjalan pada selokan besar. Pano yang kami gunakan tak lagi mampu melindungi badan dari kebasahan. Energi sudah sangat terkuras sesampai di shelter 2. Dengan tertatih kami kadang harus maju mundur cantik dan merunduk ganteng melewati terowongan hutan pimpiang yang seakan tiada habisnya. Sekitar jam 19.30 kami keluar dari hutan pimpiang. Tampak Cumiel sujud syukur di bawah guyuran hujan. lalu kami beristirahat di basecamp. Merasa perjalanan ke Padang tak mungkin dilanjutkan malam itu, kami memutuskan untuk menginap di basecamp dan melanjutkan perjalanan ke koto baru Senen dini hari sebelum sholat subuh.

satu kerinduan akan rumah